
Kepastian adalah musuh pertumbuhan, tidak ada yang pasti sampai hal itu sudah terjadi dan itu pun masih bisa diperdebatkan.
Setiap perusahaan akan menemukan phase, bertumbuh, besar dan beradaptasi. Dan proses adaptasi menjadi sebuah keharusan, jika tidak ingin terlindas perubahan. Ibarat sebuah pohon, akan ada masa berganti kulit, berganti fokus dan nilai. Keseluruhan perubahan itulah yang disebut dengan transformasi.
Di dalam dunia bisnis dan ekonomi yang amat cepat berubah saat ini, transformasi bukanlah sebuah opsi tetapi mandatory, jika perseroan ingin tetap exist dan makin bertumbuh. Ada banyak sekali drivers of business change, beberapa di antaranya yaitu Knowledge Economy, E-commerce, dan Integrasi pasar. Semua ini menciptakan landscape bisnis yang baru, yang berakibat pada shifting of competitiveness.
Bagi perusahaan yang ingin produk atau jasanya tetap relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat konsumen, maka transformasi perseroan sejatinya menjadi the way of businesss survival. Transformasi bisa diibaratkan dengan suatu perjalanan ke area yang belum kita kenal. Transformation is a journey to challenge unfamiliar territory.
Mengapa transformasi dianggap strategi penyelamatan?
Jika anda melihat denyut organisasi adem ayem saja. Dan sebagian personil mengambil sikap, everything is okay. Seolah-olah tidak ada masalah, disitulah masalahnya! Kalau mereka tidak bisa melihat bahaya dan ancaman yang ikut berlari kencang, maka inilah saatnya mengorbankan semangat transformasi.
Transformasi adalah upaya sadar yang dilakukan perusahaan untuk melakukan adaptasi dan migrasi menuju tingkat yang lebih tinggi. Di tengah berbagai perubahan yang amat cepat, di antara integrasi pasar, kemajuan teknologi dan konvergensi digital, E-commerce dan Knowledge Economy. Transformasi menjadi proses pengembangan kapasitas dan adjustment kapabilitas untuk menangkap berbagai kesempatan dan peluang bisnis yang datang bersamaan dengan deru perubahan tersebut.
Dari pengamatan saya berinteraksi dan mendampingi perusahaan, inisiatif transformasi ditandai dengan beberapa ciri awal, diantaranya:
1. Discontent.
Adanya sebuah rasa ketidakpuasan kolektif, umumnya di tingkat leaders terhadap organizational performance; bahwa “kita tidak bisa begini terus”. Ada dissatisfaction terhadap performance status quo.
Ada rasa insecurity terhadap masa depan perusahaan, terlebih lagi menghadapi gempuran lawan dan kompetisi yang semakin terbuka. Ada semacam prediksi dan perasaan bahwa produk jasa perusahaan akan terpinggirkan, kalah dalam penyisihan kompetisi. Indikasi terhadap keadaan tersebut adalah makin banyak produk pesaing yang inovatif, makin murah, terjangkau dan makin cepat product lifecycle nya.
Sebenarnya perasaan discontent atau dissatisfaction jika dikelola dengan baik akan menjadi sumber pematik transformasi. Jika tidak dikelola secara antisipatif akan menjadi sumber konflik, yang lama kelamaan menghancurkan perusahaan.
2. Conviction.
Adanya kesadaran di lingkup manajemen dengan melihat sumber daya yang ada saat ini, jiwa mereka berseru: “Kita bisa berbuat lebih banyak! Tidak mungkin hanya segini!”.
Keyakinan ini muncul dan makin kuat ketika leaders melakukan benchmark atau pengamatan analisa komparatif. Melihat fakta perusahaan sejenis dengan resources yang kurang lebih sama ternyata bisa menghasilkan begitu banyak kinerja hasil.
Kalau kapasitas dan kapabilitas perusahaan tidaklah jauh berbeda dengan perusahaan lain, dan terjadi perbedaan kinerja yang mencolok, ini berarti ada semacam isu memobilisasi corporate mind and soul untuk bergerak secara kolektif, sehingga menimbulkan daya pentrasi yang solid dan tajam.
3. Ekplorasi Need of Achievement.
Need of Achievement timbul dari dorongan dalam diri untuk mendaki lebih tinggi, dari apa yang sudah mereka tempuh saat ini. Jika tim dalam organisasi anda memiliki ambisi seperti itu, Very Good!.
Mereka tidak ingin hanya bekerja dalam ritme “business as usual”, No! mereka ingin menjadi Driver bukan Passenger. Mereka ingin menantang nyali, menaklukan rasa takut dan ragu dengan melakukan hal-hal baru.
Secara umum, kebanyakan situasi krisis menjadi pemicu transformasi. Situasi krisis bisa terefleksikan di dalam sales growth rate yang stagnan atau merosot, menurunnya profit, market share yang terus tergerus, dan pasifnya spirit inovasi pegawai.
Selain adanya krisis, transformasi juga dipicu oleh kesadaran untuk mengambil dan memanfaatkan sebesar-besarnya kesempatan bisnis yang sedang terbuka. Kesadaran itu akhirnya bermuara dengan kenyataan bahwa perusahaan harus melakukan penyesuaian kapasitas dan perombakan mentalitas perilaku organisasi.
Kapan Transformasi dilakukan?
Banyak perusahaan terlambat melakukan transformasi saat dihadapkan dengan perang pasar terbuka. Pada fase bleeding seperti itu, mereka hanya sibuk survival. Pertempurannya adalah keberlangsungan hidup hari ini.
Kalau rumah sedang terbakar, mana sempat memikirkan hari depan? Kondisi seperti ini membuat kita semua tidak berpikir antisipatif dan strategis. Fokus berpikir kita akan tersabotase dengan banyaknya kebutuhan yang mendesak, penting dan darurat. Semua menuntut perhatian dan intervensi.
Sekarang waktunya lakukan transformasi!
Tidak ada waktu lagi untuk terbuai. Saatnya untuk habis-habisan memperbesar kapasitas dan mem-fine-tunning semua resources yang ada. Tidak masalah anda mau memulai transformasi mulai dari front mana. Yang penting jalan dulu, kemudian sembari mendapatkan momentum gerak, lakukan penyesuaian.
Tunjukan skenario terburuk yang bisa terjadi, kalau setiap orang di perusahaan tidak peduli (ignorant). Hanya dengan sikap ini maka urgensi akan muncul. Bahkan jika perlu sampai level terjadi kegilisahan kolektif bahwa kita harus bertindak sekarang, selagi masih ada waktu. Jelaskan juga apa konsekuensi yang akan dihadapi jika perusahaan punya mentalitas “nanti saja transformasinya” atau “belanda masih jauh”.
Transformasi dimulai dengan keberanian melepas keberhasilan masa lalu. Mencoba menerapkan pakem yang sama untuk dua kondisi yang berbeda akan memakan ongkos yang amat mahal; Incompetitiveness perusahaan.
Menggerakan transformasi tidak semudah membalik telapak tangan. Pergulatan turning around perusahaan selalu berhubungan dengan penolakan internal, dan dampak transformasi itu kepada konsumen.
Bagaimana formulasi dan jenis pendekatan transformasi?
Saya akan kupas dalam tulisan selanjutnya.
Salam, Remaja Tampubolon
Comments