top of page
Search
  • Writer's pictureRemaja Tampubolon

Bahagia itu Unconditional




Bahagia yang abadi itu mustahil didapatkan oleh siapapun. Kita semua pasti pernah mengalami kebahagiaan, pernah mengalami kesedihan. Kalau saat ini kita sedang sangat berbahagia, bersiap-siaplah cepat atau lambat kita akan mengalami kesedihan. Sebaliknya juga, saat kita sedang dirundung kesedihan, bersiap-siaplah kita akan dipertemukan dengan kebahagiaan. Hidup berputar dan melaju terus tanpa henti.


Ada orang yang mencari bahagia ke diskotik setiap hari. Ada orang yang mencari bahagia ke tempat karaoke setiap hari. Ada orang yang mencari bahagia pergi ke luar negeri setiap bulan. Sejenak, memang bisa menghilangkan penat dan beratnya beban. Namun lagi-lagi, itu tidak akan bertahan lama, karena kita selalu terjebak pada bahagia yang “Kalau”.


Kalau saya punya mobil, saya bahagia. Kalau saya punya uang banyak, saya bahagia. Kalau saya berpesta ke diskotik, saya bahagia. Kalau saya memiliki cincin permata, saya bahagia. Kalau lingkungan kerja kondusif, saya akan bahagia. Kalau atasan saya dapat memahami saya, saya akan sangat bahagia.


Bahagia yang memakai kata “kalau”, adalah bahagia yang tergantung pada apa yang terjadi di luar diri. Ia adalah bahagia yang melekat.


Di manapun anda berada, dan kapan pun, anda tidak akan pernah bisa menemukan bahagia jika terus berpikir bahwa bahagia itu berada di luar diri kita. Anda akan lelah jika terus menggantungkan kebahagian anda pada situasi yang anda temui setiap hari, orang-orang yang anda temui setiap hari. Saya sih inginnya bahagia, tapi suami saya meninggalkan saya. Saya sih ingin bahagia, tapi uang sudah menipis. Terima saja mereka apa adanya You can be happy if you accept things as they are.


Saya terinspirasi dengan cerita John C. Maxwell untuk menggambarkan tentang pengertian Unconditional Happiness. John C. Maxwell adalah pakar kepemimpinan di Amerika yang sangat produktif membuat buku-buku tentang kepempimpinan. Ia adalah salah satu tokoh pembicara tentang kepemimpinan yang sangat dihormati.

Suatu ketika, istri John C. Maxwell yang bernama Margareth diundang menjadi pembicara di sebuah seminar tentang kebahagiaan. Saat itu, John C Maxwell duduk di deretan bangku paling depan mendengarkan istrinya yang sedang berbicara. Setelah Margareth memaparkan konsep tentang kebahagiaan, maka dibukalah sesi tanya jawab.


Diantara sekian banyak pertanyaan, ada pertanyaan dari seorang Ibu yang cukup menggelitik. Ia bertanya; Miss Margareth, apakah suami anda (John C Maxwell) membuat anda BAHAGIA?”

Seluruh peserta hening. Suasana menjadi sepi. Satu pertanyaan yang sangat bagus. Semua peserta menunggu jawaban dan ingin tau apa yang akan Margareth katakan. Lalu, Margaret menjawab tega; “TIDAK”.

Seluruh peserta terlihat terkejut. “TIDAK" kata Margareth sekali lagi. “JOHN C. Maxwell, tidak bisa membuatku bahagia”.


Banyak peserta yang melirik kearah John C. Maxwell yang sedang duduk dengan santainya di barisan paling depan. Ia nampak tidak bisa menyembunyikan kekagetannya juga dengan apa yang terlontar dari mulut istri yang dicintainya.

Kemudian, Margaret kembali menuturkan; “John C. Maxwell adalah suami yang sangat baik. Ia suami yang tidak pernah berjudi, mabuk mabukan. Ia adalah suami yang sangat setia dan selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani. Tapi, tetap dia tidak bisa membuatku bahagia”.


Tiba-tiba ada suara yang muncul di tengah tengah audience; “Mengapa?”

“Karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri”.

Semua peserta seminar langsung bertepuk tangan. John C. Maxwell pun nampak seolah bisa bernapas lega.


Ya, yang bisa membuat diri kita bahagia adalah diri sendiri. Orang lain tidak bisa membuat kita bahagia. Uang yang kita miliki tidak bisa membuat kita bahagia. Tanggung jawab kebahagiaan ada di tangan diri kita sendiri.


Bahagia yang bisa bertahan lama adalah

bahagia yang Unconditional (Tidak mengikat).

Ia tidak melekat dengan keadaan yang bersifat materialistik.

Jika bahagia itu berarti memiliki uang banyak.


Jika bahagia itu berarti memiliki rumah banyak. Jika bahagia itu berarti memiliki mobil banyak. Bahagia seperti itu pasti sementara. Ia hanyalah bahagia yang datangnya dari luar. Segala sesuatu yang datangnya dari luar, biasanya tidak akan bertahan lama.


Sonja Lyubomirsky, penulis buku The How of Happiness memaparkan penelitian secara scientific yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan apa yang dinamakan dengan kebahagiaan. Ia mengatakan, bahwa kebahagiaan itu ternyata 50% ada hubungannya dengan faktor genetis (Genetic Tendencies). 10% karena karena pengaruh dari situasi dan kejadian di luar diri kita (circumstances). Dan 40% karena kemampuan diri kita didalam mengendalikan diri (Self Control). Yang 40% inilah, yang menjadi tanggung jawab kita.


Kalau kita perhatikan, faktor yang munculnya dari luar hanyalah 10%. Faktor dominan adalah faktor genetik dan faktor pengendalian diri. Saya tidak terlalu perduli dengan masalah genetis, saya hanya perduli dengan yang faktor pengendalian diri. Mengapa? Karena ia ada didalam lingkar kendali kita, bukan di luar kendali kita.


Bahagia itu, datangnya dari dalam diri. Bahagia itu bisa dipelajari, karena bahagia adalah tentang bagaimana kita mengendalikan diri.


"Be happy for this moment. This moment is your life"


Salam happy, Remaja Tampubolon

1,290 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page